Antara Pajak dan Bea Cukai…

Pas dulu tes wawancara, sempat ditanyai oleh pewawancaranya, “Mau di Pajak atau Bea Cukai dek?”

Waktu itu saya dengan sigap menjawab, “Pilihan utama saya di pajak pak”

“Kenapa?’ tanyanya.

“Mata saya agak minus pak, takut mengganggu tugas nantinya kalau di Bea Cukai”

Pewawancaranya langsung meng-ooh-kan.

Sebenarnya, selain mata minus, banyak hal yang membuat saya berdoa habis-habisan agar tidak masuk Bea Cukai, dari mulai bayangan saya yang militerisme sampai pada seragam. Saya termasuk yang paling malas pakai seragam. Wong pas sekolah saja saya sering ditegur guru soal seragam. Hehe…

Lalu, sebelumnya saya juga sudah pernah ke Pusdiklat Bea Cukai di Rawamangun sana. Kelihatan sekali di sana militerismenya, seperti hormat pada senior atau atasan, baris-berbaris, pelatihan fisiknya, dan lain-lain. Ditambah lagi, para peserta didiknya yang menggunakan baju seragam coklat, kayak IPDN.

Imajinasi saya akan dididik seperti di IPDN, akan ada banyak kekerasan fisik.

Fix! Saya memilih pajak. Dan ternyata dikabulkan oleh pewawancara tersebut. Saya diterima di pilihan tersebut.

Namun, lama-kelamaan, entah kenapa, kayaknya agak menyesal juga sih waktu itu. Bukan karena menyesal dengan pilihan sekarang. Soalnya, insyaalloh saya menikmatinya sekarang. Menyesalnya itu kenapa sebelumnya tidak menggali dulu.

Saya kira nantinya lulusan Bea Cukai itu nantinya akan mirip-mirip dengan lulusan Perguruan Tinggi Kedinasan lain yang lulus nanti akan jadi birokrat dengan seragamnya, Eh, ternyata mereka akan jadi Birokrat yang juga bertugas menjaga keamanan fiskal negeri ini. Jadi, mereka juga dilengkapi berbagai peralatan pengamanan seperti senjata api, anjing pelacak, perahu patroli, dan macam-macam. Mirip-mirip polisi lah…

Lalu, kata teman saya yang di Bea Cukai, mereka juga ada intelejennya, dan betul-betul terjun ke lapangan mengawasi seperti intel betulan. Bahkan teman saya itu juga dapat materi ke-intel-an.

Saya yang suka film action jelas menyanyangkan kenapa dulu saya tidak masuk Bea Cukai. Apalagi saya termasuk orang lapangan. Lebih cocok bekerja di lapangan ketimbang harus di kantor berjam-jam.

Dan pendidikan kemiliterannya pun tidak sampai kekerasan fisik. Paling parah kata teman saya hanya disuruh merayap-rayap di aspal, jalan jongkok, atau pernah malam-malam disuruh sendirian di kuburan. Itu pun juga hanya sekali-kali. Tidak ada sampai pukul-pukulan.

Paling malas paling ada apel tiap pagi, Tapi saya pun yang pendidikannya pajak juga ada apel pagi, hanya saja tiap sepekan sekali, tidak sampai tiap hari. Dan beberapa bulan sekali apelnya dipimpin kopassus. itu pun biasanya setelah apel pagi bareng kopassus ada snack-nya untuk sarapan. Hehe…

Untuk mata saya yang minus pun ternyata itu harusnya bukan jadi masalah. Karena banyak teman saya di Bea Cukai yang mata minusnya lebih parah. Para pegawai Bea Cukai juga banyak yang berkacamata. Setahu saya, memegang senjata juga sepertinya diperbolehkan memegang senjata asal ikut diklatnya (koreksi jika salah).

Saya yang juga waktu itu menganggap bahwa fisik saya standar saja juga salah. Banyak teman saya di Bea Cukai sewaktu ospek bersama masih kalah fisiknya dengan saya. Mungkin karena waktu itu mereka belum dilatih di Bea Cukainya. Dan mungkin saya juga bisa berfisik lebih kuat jika kemudian masuk dalam pelatihan mereka.

Pokoknya kalau mau jadi pasukan bersenjata dengan militerisme yang lebih soft, Bea Cukai mungkin bisa menjadi pilihannya.

Entah kenapa juga, kebanyakan kenalan saya yang di Bea Cukai, entah itu teman atau senior terasa lebih ramah. Tapi kalau tegas juga berwibawa. Bukan tegas yang dibuat-buat. Sepertinya mampu menempatkan kapan harus tegas dan kapan harus ramah.

Beberapa pejabat yang saya kenal disiplin juga ada beberapa yang dulunya dari Bea Cukai. Misalnya kepala BPPK (Badan Pelatihan dan Pendidikan Keuangan) sebelumnya, atau juga Ketua Pimpinan Hakim Pengadilan Pajak sekarang.

Soal mutasi, kata senior saya, level staff Bea Cukai juga lebih sering dimutasi daripada yang lain. Jadi tidak mengendap di satu tempat untuk waktu yang lama. Tidak seperti staff pajak yang bisa lumutan di suatu daerah untuk waktu yang cukup lama. Walau mutasi Bea Cukai kadang bisa di pelosok-pelosok perbatasan.

Senior yang saya kenal dulu pernah ditempatkan di perbatasan papua. Ada juga yang dulu pernah ditempatkan di Entikong, perbatasan dengan Malaysia. Mungkin terasa mengenaskan, namun asyiknya bisa ke negara orang sesekali.

Bahkan Bea Cukai itu juga ada kantor perwakilannya di luar negeri. Setahu saya itu ada di Belgia, Singapura, Hongkong, dan Jepang. Jadi bisa saja suatu saat ditempatkan di luar negeri.

Selain itu, saya pikir dulu hanya ada konsultan pajak, tidak ada konsultan Bea Cukai. Baru kemudian saya tahu ternyata ada. Dan ternyata itu cukup jarang di Indonesia. Karena sekolah bea cukai hanya ada satu di Indonesia yang langsung dikelola pemerintah. Beda dengan pajak yang berjibun sekolah perpajakannya, dari yang mulai pajak formal murni atau juga akuntansi yang konsentrasinya perpajakan.

Sekolah Bea Cukai pun juga hanya ada beberapa hitungan jari di dunia. Sementara itu, kondisi perekonomian dunia yang sekarang lebih cenderung dengan pasar bebasnya (WTO) tentu lebih membutuhkan pengamanan dan pengawasan yang ekstra. Sehingga prospek Bea Cukai ke depannya lebih dibutuhkan untuk menangani banyak kasus penyelundupan atau kasus-kasus lain terkait kepabeanan dan cukai.

Satu lagi terakhir yang membuat saya terkagum dengan Bea Cukai. Selain mengurusi masalah sosial seperti keuangan. Bea Cukai ternyata juga berhubungan dengan sains dan teknologi seperti pengenalan barang-barang kimia yang keluar-masuk dan teknologinya. Ditambah Bea Cukai sendiri juga memiliki beberapa laboratorium.

Mungkin kalau saya masuk Bea Cukai. Saya mungkin bisa berkesempatan kembali ke ranah eksak setelah sebelumnya “murtad” selepas lulus SMA ke ranah sosial. Hehe…

 

 

Ok, sekali lagi ini bukan bentuk penyesalan saya atas pilihan yang sekarang. Dan saya Insyaalloh sangat menikmati pilihan yang sekarang. Namun, lebih ke arah penyesalah kenapa saya tidak menggali masing-masing pilihan lebih dalam. Waktu itu saya hanya melihat pajak lebih terkenal dari bea cukai, apalagi Gayus sedang terkenal-kenalnya saat itu. Saya hanya tahu Bea Cukai pakai seragam dan berbagai hal awam lainnya.

Semoga kelak ini tak terulang lagi, harus menggali setiap pilihan dengan benar-benar. Baru kemudian menentukan.

 

56 thoughts on “Antara Pajak dan Bea Cukai…

  1. reza irfani

    salam kenal,,
    gua reza anak BC,,gak sengaja baca,,
    emang awalnya gua jg agak kurang “ngeh” masuk BC,,tapi ternyata kalo udah dijalanin enak juga,,,n ga miter2 amat,,mungkin lebih disiplin dikit kali ya,,
    pajak dan bea cukai sama aja kok,,sama2 pusing,,

  2. Ary

    yang gak simpati atau malas pakai seragam atau takur dengan militer ya keluar aja atau ikut usm stan tahun depan beres kan? daripada kepaksa gak sepenuh hati ntar nyesel lho 🙂

  3. Gesa

    g nyeslin sih kak, cuma agak takut milier aja, tp bang “reza irfani” bilang g militer amat jadi semangat nih
    boleh tau, uang saku waktu pendidikan dikasi berapa bang?

  4. berseragam ada enaknya kok….semangat korps jd terbentuk…jadi ada semacam simbol….
    hormat dengan senior juga untuk acara kedinasan, selain kedinasan adalah kebiasaan dinas yg terbawa namun dng gitu kita bisa menghormati orang lbh tua dengan baik krn senior rata-rata lebih tua….
    emang sih militernya gak terlalu keras seperti tentara, tp kita bisa merasakan bagaimana disiplin ala militer….
    dan dng di BC saya pernah lho pakai senjata api…
    rasanya wow apalagi pas ditembakkan….

  5. budi prast

    jangan menyesal, semua ada hikmahnya…kalau mau kayak intel, di pajak juga ada koq…. intelijen dan penyidikan, pendidikannya di pusdik reskrim polri mega mendung dan di bin…dan ambil jalan seperti saya, pilih istri dari bea cukai…. :p

  6. BC ah

    karena judulnya antara pajak dan bea cukai.. jadi pengen komen.. pajak dan bea cukai dikiranya sama take home pay-nya.. padahal.. bisa beda 4 juta/bln untuk level yang sama.. 🙂 jadi, kalau mau lebih sejahtera.. pilih pajak saja..
    *ttd pelaksana di BC 😀

  7. Ivan

    Saya kebetulan baru lulus dari kampus Frans Seda. Ditunggu kedatangannya buat anggota baru KMBC. Pendidikan di kampus nanti seperti apa pun kalau dijalankan dengan tulus dan sepenuh hati pasti jadi menyenangkan. Bermanfaat kok, di jalanin aja. Have fun~

    soal seragam, baik pendidikan maupun saat kerja gak akan lepas dari insan BC, hehe~

  8. Tulisaannya sangat menarik mas. Saya sekarang d bc. Beberapa bulan kuliah sya smpat menyesal kenapa ga milih pajak ya? Ternyata plhan sya tepat d bc, ya mirip2 dngan apa yg mas tulis ^_^. Salam kenal yah , jangan lupa mampir ke blog saya

  9. Asmawana

    kak mau tanya dong kalo di BC apa saja persyaratan yang lainnya? selain mata minus? sepertinya saya agak down untuk daftar stan tahun ini saya lulusan tahun 2013 SMK Tehnik Informatika jurusan Multimedia soalnya mata saya minus silinder. mohon infonya, terima kasih

    1. Wanda Sinada

      temenku ada kok yang matanya silinder, tapi ga tau gede atau kecil sih
      asal bisa baca yang buat tes mata yang huruf huruh gitu gapapa kok

  10. Isman

    Pajak dan bea cukai ada kelebihanya masing2. Memang kalo take home pay pajak di daerah lebih besar dari bc. tapi tenang ko denger2 udh ada wacana penyetaraan thp bea cukai biar sama kaya pajak 8)

  11. anonim

    Kak benarkah minus 3 gapapa ?
    ayah saya mengininkan saya di BC dan minus saya 2,5 dan 3.. sedangkan di pendaftaran hanya minus 2 maksimal. Tapi ayah saya yg kebetulan kerja di BC bilan bahwa banyak pegawai baru yg kacamata nya tebal2.. ini saya sudah daftar ambil BC jua, jd agak bimbang sekarang

Leave a reply to elam Cancel reply